LANDASAN PEDAGOGIS PENDIDIKAN SD

LANDASAN PEDAGOGIS PENDIDIKAN SD
1. Pengertian Pedagogis
Pedagogis berasal dari bahasa Yunani, paid (anak-anak) dan agogos (memimpin) sehingga pedagogis berarti pemimpin anak-anak. Dimana, pada perkembangan berikutnya diartikan secara khusus yakni “sebagai suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak”. Pada akhirnya pedagogis didefinisikan secara umum sebagai ilmu dan seni mengajar. Sebagai pendidik tentunya perlu mengetahui ilmu dan seni mengajar yang baik bagi peserta didiknya (Toto Raharjo, 2014:18).
Menurut J. Hoogveld (Belanda) yang dikutip oleh Sadulloh mengatakan “pedagogik adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya. Jadi, pedagogik adalah ilmu mendidik anak”. Berdasarkan pendapat ini, pedagogik adalah teori yang membahas tentang apa dan bagaimana mendidik anak sebaik-baiknya sehingga terjadi perubahan perilaku. Guru hendaknya memiliki kemampuan ini agar output anak didiknya akan lebih baik dan maksimal.
Dalam sebuah pendidikan dan pembelajaran, kualitas guru merupakan faktor penting dalam menentukan pencapaian prestasi siswa, bahkan guru harus memperhatikan karakteristik siswa sebelumnya dan latar belakang keluarga. Indikator kualitas guru biasanya memasukkan faktor-faktor seperti ukuran kelas, sertifikasi, jenis kualifikasi, tingkat penerimaan, atau pengalaman bertahun-tahun. Indikator kualitas guru lainnya, yang kurang dipelajari, adalah pengetahuan pedagogis tentang guru. Pedagogical knowledge is the specialised knowledge of teachers for creating effective teaching and learning environments for all student (Sonia Guerriero, 2017).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogik sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 10 Ayat (1) adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Sedangkan menurut penjelasan dalam Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 ayat (3) butir a dikemukakan: 
“Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya”.
Kemudian menurut Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru Pasal 3 ayat 4 menyebutkan bahwa “kompetensi pedagogik untuk guru SD, MI, SMP, MTs, SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk yang lain yang sederajat meliputi kemampuan antara lain pemahaman tentang peserta didik secara mendalam, penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik yang meliputi kemampuan merancang pembelajaran, mengimplementasikan pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran, dan melakukan perbaikan secara berkelanjutan”.
Dari paparan di atas, dapat ditarik sari bahwa dalam proses pendidikan dan pembelajaran, tugas guru bukan ‘Mengajar’ tapi ‘Membelajarkan’ secara efektif dimana siswa terlibat aktif dalam mengonstruk konsep dan pengetahuannya.

2. Landasan Pedagogis Pendidikan
Sikun Pribadi (1984) berpandangan bahwa, “Itu sebabnya mengapa suatu upaya pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dikemukakan dalam bentuk resep atau aturan yang tetap untuk dijalankan. Yang penting bukan resepnya, melainkan kepribadian dan kreativitas pendidik sendiri. Pendidikan (walaupun harus didukung oleh ilmu pendidikan/pedagogik) dalam pelaksanaannya lebih merupakan seni daripada teori.”
Seorang pendidik (guru) tidak boleh menyepelekan dalam menjalankan tugas mengajar walaupun sudah menguasai tentang teori pendidikan. Dalam praktik kegiatan belajar mengajar yang terpenting adalah kepribadian dan kreativitas. Kepribadian guru haruslah baik, menjadi panutan bagi peserta didiknya karena pada dasarnya kata guru berasal dari kata digugu lan ditiru yang berarti diperhatikan dan dicontoh. Guru juga harus kreatif dalam menggunakan metode dan media pembelajaran. Metode dan media yang digunakan harus bervariasi dan memperhatikan situasi dan lingkungan serta tujuan yang akan dicapai. Sehingga guru harus pandai-pandai mengoordinasi kelas menjadi menyenangkan, tetapi bermakna agar tujuan pembelajaran tercapai. 
Sementara pengetahuan guru hendaklah mencakup komponen profesionalisme guru. Kompetensi profesional melibatkan lebih dari sekadar pengetahuan. Keterampilan, sikap, dan variabel motivasi juga berkontribusi pada penguasaan pengajaran dan pembelajaran. Blömeke dan Delaney (2012) mengusulkan sebuah model yang mengidentifikasi kemampuan kognitif dan karakteristik motivasi afektif sebagai dua komponen utama kompetensi profesional guru.
Agar menjadi seorang guru yang bertanggung jawab hendaklah memiliki beberapa kemampuan atau kompetensi dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai guru yang sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen “secara umum kompetensi guru tersebut meliputi; kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”. Di dalam PP RI Nomor 74 Tahun 2008 dijabarkan keempat kompetensi tersebut pada pasal 3 ayat (4) sampai dengan ayat (7) yaitu : 

Kompetensi pedagogik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: 
a. Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; 
b. Pemahaman terhadap peserta didik; 
c. Pengembangan kurikulum atau silabus;
d. Perancangan pembelajaran; 
e. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; 
f. Pemanfaatan teknologi pembelajaran; 
g. Evaluasi hasil belajar; dan 
h. Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 

Kompetensi kepribadian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya mencakup kepribadian yang: 
a. Beriman dan bertakwa; 
b. Berakhlak mulia; 
c. Arif dan bijaksana; 
d. Demokratis; 
e. Mantap; 
f. Berwibawa; 
g. Stabil; 
h. Dewasa; 
i. Jujur; 
j. Sportif; 
k. Menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; 
l. Secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri; dan 
m. Mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
 
Kompetensi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk: 
a. Berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun; 
b. Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; 
c. Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik; 
d. Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku; dan 
e. Menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan. 

Kompetensi profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan,teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya yang sekurangkurangnya meliputi penguasaan: 
a. Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan 
b. Konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu

3. Tokoh-tokoh Pedagogis Indonesia
John Locke lahir pada 29 Agustus 1632 dan wafat pada 28 Oktober 1704, tepat di usia yang ke-72. Seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama dalam dari pendekatan empirisme itu merupakan sosok penting dalam perkembangan pendidikan dunia.Dalam dunia pendidikan, dia berpengaruh dalam sejarah filsafat mengenai proses manusia mendapatkan ilmu pengetahuan. Menurut dia, pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia itu sendiri. 
Gurudev Rabindranath Tagore, 1901 mendirikan Santiniketan di kawasan Bengal Barat, India. Melintasi waktu seabad lebih, kini Santiniketan telah bermetamorfosis menjadi Universitas Internasional Visva Bharati. Santiniketan berarti tempat tinggal yang damai, yaitu sebuah sekolah ideal di dalam visinya di mana ia merupakan pusat pengajaran yang dilakukan di ruang terbuka alias menyatu dengan alam dan lingkungan, yang menciptakan suasana lebih bergairah dibandingkan di dalam kelas.
Di Indonesia konsep Shantiniketan diadaptasi oleh ki Hajar Dewantara dan diterapkan untuk Perguruan Tamansiswa yang didirikannya pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara menggunakan kata taman untuk menggambarkan proses penyelenggaraan pendidikan. Taman berarti tempat bermain atau tempat belajar dan siswa berarti murid/peserta didik. Prinsip dasar dalam sekolah/ pendidikan Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi seorang guru dikenal dengan Patrap Triloka. Patrap Triloka memiliki unsur-unsur ing ngarsa sung tuladha ( di depan memberi teladan ), ing madya mangun karsa (yang ditengan membangun kemauan/ inisiatif), dan tut wuri handayani (dari belakang mendukung). 
Dalam laman resmi Kemendikbud, Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan, pendidikan sejatinya ada untuk menjadi penuntun bagi segala kodrat yang dimiliki anak-anak. Harapannya, mereka mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan semaksimal mungkin. Di sisi lain, seorang pendidik hanya sanggup berperan menuntun tumbuhnya kekuatan kodrat pada anak-anak. Ki Hadjar juga menekankan bahwa pendidik harus mengikuti perkembangan zaman dan patut menyelaraskannya dengan kehidupan anak didik. Sebab, tak semua hal baru adalah baik. 
Selanjutnya, ada tokoh agama Islam dan pejuang kemerdekaan, K.H Ahmad Dahlan. Pria kelahiran 1 Agustus 1868 ini lebih menitikberatkan pemikirannya kepada pendidikan Islam. Masih dalam laman resmi Kemendkibud, Dahlan mengutarakan, pendidikan Islam sebaiknya diarahkan dan menjadi dasar usaha guna membentuk kepribadian individu muslim. Tidak hanya baik, namun juga berbudi pekerti luhur dengan wawasan luas dan memahami isu atau permasalahan dunia secara keseluruhan. Satu hal penting yang Dahlan garis bawahi, individu tersebut sanggup berjuang demi kemajuan masyarakat. Pemikiran Ahmad Dahlan tersebut dianggap sebagai pembaharuan dari tujuan sekolah yang menjamur kala itu, yakni sekolah agama (pesantren) dan sekolah berbasis pendidikan Eropa atau Belanda. Sejatinya, kedua jenis sekolah itu memiliki pandangan yang saling bertentangan.
Dari Bumi Pasundan, Dewi Sartika hadir sebagai tokoh perempuan sekaligus pendidikan bangsa. Dalam Jurnal Ilmiah Peradaban Islam bertajuk ‘Pemikiran Dewi Sartika pada Tahun 1904-1947 dalam Perspektif Islam’, dijelaskan bahwa pemilik nama lengkap Raden Dewi Sartika itu adalah perintis pendidikan perempuan di wilayah tanah Sunda. Meskipun menemui banyak kendala dan keterbatasan, namun Dewi Sartika tetap mencoba mengembangkan diri dan pemikirannya agar bisa mendirikan sebuah sekolah. Dewi Sartika dengan lantang menyuarakan pentingnya pendidikan bagi perempuan pribumi, terutama generasi muda. Menurutnya, pendidikan adalah sebuah hal yang penting demi mendapatkan sebuah kekuatan. Bagi perempuan sendiri, mendapat pendidikan merupakan salah satu cerminan tercapainya kesamaan hak dengan pria.

Postingan populer dari blog ini

LANDASAN YURIDIS DAN KEBIJAKAN SEKOLAH DASAR